Ketiadaan catatan/tulisan Belanda tentang Peristiwa Marapalam, mengundang munculnya beragam versi sejumlah peneliti, pemerhati agama dan adat tentang peristiwa Bukit Marapalam. Beberapa versi antara lain dari laporan penelitian dan seminar tentang Sumpah Satie Bukik Marapalam (1991).
Versi I:
Bai'ah Marapalam 1403M.
Sudah dibahas dalam dokumen "KRITIK NASKAH 'MARAPALAM" I.
Versi II:
Piagam Sumpah Satie Marapalam terjadi pada masa Syekh Burhanuddin menyebarkan Islam di alam Minang. Hamka (1984) secara tersirat ia memperkirakan masa Syekh Burhanuddin, masih berlaku konsensus pertama yaitu “adaik basandi syarak, syarak basandi adaik”.
Azwar Datuk Mangiang mewawancarai Inyiak Canduang ( buku “Perdamaian Adat dan Syarak”) tahun 1966 di Candung. Azwar menyatakan peristiwa itu terjadi tahun 1644 Masehi (M), jauh sebelum masa Paderi.
Awal abad ke-7 M (abad I Hijriah) rantau timur Minangkabau telah menerima dakwah Islam. J.C. van Vanleur dalam bukunya Indonesian Trade & Socety (1955) menyatakan tahun 674 AD Pantai Barat Sumatera telah dihuni koloni Arab.
Kerajaan Islam Perlak dengan sultan pertamanya Syekh Maulana Abdul Aziz Syah yang menganut Islam Syiah (840 M-888/913 M). Namun akhirnya di Perlak juga berkembang aliran Sunni.
Perlak dipimpin oleh seorang Sunni yaitu Sultan Makhudum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan berdaulat (1006 M).
Kemudian rantau Alam Minang sudah mulai didominasi pemeluk Islam. Adityawarman masih memeluk Budha dan Dinastinya berlanjut sampai tahun 1581 M.
Jauh sebelum Paderi, tahun 1411 M raja Pagarruyung sudah memeluk Islam dan mereka berguru kepada Tuanku Syekh Magribi atau dikenal juga Syekh Ibrahi (Maulana Malik Ibrahim).
Masa itu telah terjadi penyesuaian antara Islam dengan adat setempat. L.C. Westenenk dalam Opstellen over Minangkabau menyatakana bahwa masa adaik mananti, syarak mandaki telah ada upacara ritual pada dua buah batu di Pincuran Tujuh di Batang Sinamar, Kumanih.
Kemudian datanglah Syekh Burhanuddin yang bernama asli Pono. Kesepakatan damai tercipta antara para Penghulu, Tuanku dan Alim Ulama Minang.Kesepakatan itu bertujuan untuk saling mengakui eksistensi ulama dengan penghulu, sehingga ulama bukan bawahan Penghulu seperti panungkek, manti dandubalang,
Para kaum adat dan Syekh Burhanuddin sebagai penggagas piagam sumpah satie menemui Yang Dipertan Agung Pagarruyung. Seterusnya mereka bersama Rajo nan Tigo Selo dan Basa Ampek Balai melakukan upacara pemotongan kerbau.
Semenjak itu muncul beberapa pepatah petitih, yaitu syarak mandaki, adaik manurun; syarak lazim, adaik kawi; syarak babuhue mati, adaik babuhue sintak; syarak balindueng, adaik bapaneh; syarak mangato, adaik mamakai; syarak batilanjang, adaik basisampieng. Ketika itu Pagarruyung telah diperintah oleh Sultan Ahmadsyah gelar Tuanku Rajo nan Sati yang dilewakan dengan gelar tambahan yaitu Raja Alif. Dialah raja Pagarruyung yang pertama bertugas menyebarluaskan piagam sumpah satie tersebut.
Versi III
Peristiwa Bukit Marapalam terjadi masa awal gerakan/perang Paderi.
Gerakan Paderi yang diilhami oleh kebangkitan Islam oleh kaum Wahabi di Tanah Suci, Arab Timur. Paham Wahabi berkembang sampai ke Minang secara radikal dan pendukungnya hendak mengembalikan kemurnian Islam secara revolusi. Mereka disebut kaum Paderi yaitu orang dari kota pelabuhan di Pidie, Aceh.
Daerah pertahanan yang strategis bagi kaum Paderi adalah puncak Bukit Marapalam. Namun mereka khawatir korban bertambah di kalangan masyarakat. Kaum Paderi menggagas perjanjian dengan kaum adat. Datuk Bandaro berinisiatif menemui Datuk Samik untuk menyetujuinya. Kesepakatan mereka dilaporkan kepada Datuk Surirajo Maharajo di Pariangan. Mereka berhasil mengeluarkan Piagam sumpah satie Bukik Marapalam yaitu ABSSBK.
Versi IV
Peristiwa Bukit Marapalam masa awal perang Paderi sekitar tahun 1803-1819.
Kedua pihak yang berperang sama-sama kuat. Namun kaum Paderi sering melakukan serangan mendadak ke nagari-nagari. Benteng pertahanan mereka sekitar jalan bukit Marapalam ke Lintau diparit tinggi dan melingkar. Kaum adat melirik bangsa Eropa (Belanda) untuk mendapatkan dukungan sehingga terjadi perang Paderi. Korban berjatuhan diketiga pihak yang berkepentingan. Melihat kejadian itu yang lebih menguntungkan Belanda, maka muncul kesadaran beberapa kaum adat untuk berdamai dengan ulama Paderi dan bersatu melawan Belanda. Tersebutlah Datuk Bandaro wakil golongan adat dan Tuanku Lintau sebagai tokoh yang memprakarsai perjanjian itu di Bukit Marapalam. Fakta sosial membuktikan bahwa Tuanku Lintau yang mengkonsep, mengatur, dan menjalankan ABSSBK.
Versi V
Peristiwa Bukit Marapalam terjadi masa vacum perang Paderi.
Kaum Paderi menganggap kaum adat dan Belanda sebagai kafir yang harus diperangi. Strategi Belanda yaitu mengalihkan pasukannya menghadapi Perang Diponegoro di Jawa, sementara Belanda pura-pura berdamai dengan kaum Paderi, namun antara ulama dengan kaum adat belum juga berdamai. Melihat strategi Belanda maka kaum Paderi juga melakukan rekonsiliasi dengan kaum adat untuk menambah kekuatan dengan sebuah perjanjian. Pelopor dari kaum adat yaitu Datuk Bandaro dan dari Paderi (sekaligus yang mampu menanamkan ajaran Islam kepada mereka) adalah Tuanku Lintau. Pertentangan mulai reja semenjak perjanjian itu, namun pertentangan masih terasa antara paradatuk dari Nagari Saruaso dan Batipuh.
Versi VI
Peristiwa Bukit Marapalam terjadi tahun 1828 ketika Tuanku Imam Bonjol hampir menguasai seluruh Minangkabau. Tuanku Imam Bonjol mengajukan tawaran berdamai dengan kaum adat. Tawaran berdamai itu diterima, mereka bertemu di Bukit Marapalam.
Versi VII
Peristiwa Bukik Marapalam masa Perang Paderi II.
Strategi perang Belanda berhasil, terbukti dengan kekalahan Diponegoro dan kemudian jatuhnya benteng pertahanan Paderi Lintau di puncak Bukit Marapalam bulan Agustus 1831. Berturut-turut jatuhlah ke tangan Belanda benteng di Talawi, Bukit Kamang dan kekuatan Tuanku Nan Renceh. Semua Paderi di Agam jatuh ke tangan Belanda akhir Juni 1832. Mereka telah terlanjur diadu domba oleh Belanda dengan adanya konflik agama dan adat. Namun sebelum Bukik Marapalam jatuh ke tangan Belanda, antara kaum adat dan agama telah berunding yang menghasilkan piagam sumpah satie tersebut. Kembali disebut-sebut Tuanku Lintau sebagai pemprakarsanya.
Versi VIII
Peristiwa Marapalam sesudah usai perang Paderi.
Kesadaran masyarakat adat.Setelah kekalahan Paderi, Belanda bisa menguasai Minang. Belanda mulai merubah tatanan sosial masyarakat. Mereka mengangkat Penghulu Bersurat untuk kepentingan administrasi dan untuk urusan pemungutan pajak. Nagari-nagari yang otonom di Minang mereka jadikan bagian wilayah Administratif Pemerintahan Hindia Belanda. Namun kekhawatiran masyarakat Minang terhadap Belanda yang utama adalah pandangan bahwa mereka orang kafir, sehingga ada kecemasan terjadinya perubahan struktur sosial dan nilai-nilai agama dalam masyarakat. Upaya mengantisipasi hal itu adalah memperkuat persatuan kaum adat dan ulama dengan mencetuskan piagam sumpah satie tersebut.
Oleh Tuanku Mangkudun
0 komentar:
Posting Komentar