Ada banyak versi yang meragukan
tentang kedua nama ini yang kadang-kadang dilulur saja mentah-mentah tanpa
melakukan cros-cek terlebih dahulu. Apalagi, bila informasi tersebut bersumber
dari ceritera-ceritera yang bergalau, yang dapat mengaburkan sejarah. Judul
tulisan di atas membuktikan kebenaran yang bergalau tersebut. Siapa Puti
Indojalito dan siapa Puto Indojati ?
Nama yang sebenarnya dalam
Tambo-Tambo atau buku-buku tentang Minangkabau disebut Indo Jalito, lengkapnya
Puti Indo Jalito, di-Indonesiakan menjadi Putri Indera Jelita. Ada yang
menyebut nya Putri Indah Jelita dan Ninik Inderajati. Dan ada pula yang
menyebutkan bahwa Indojati itu seorang putri. Kosakata indo, berasal dari kata
indra, bahkan akan menyesatkan bila diterjemahkan menjadi indah, sementara
jalito menjadi jelita artinya adalah juga indah sehingga namanya bisa diacak
menjadi Indra Jelita, Indo Jalito, Indah Juita, bahkan menjadi Indah Jelita.
Masyarakat tradisi di Semerup
Kerinci bahkan ada yang menyebutnya Niniek Indo Jali saja, tetapi ada juga yang
menyebut Indo Jaliah untuk tokoh yang sama. Apapun nama panggilannya untuk
tokoh putri ini ceriteranya tetap merujuk kepada Puti Indo Jalito (Indojalito)
, seorang keturunan Putri Gunung Merapi Asli, ibu kandung Sultan Paduka Besar,
dengan gelar Islamnya Sultan Al-Malik Al Akbar. Minangkabau kemudian
menyebutnya Sutan Malik Besar atau Sutan Maharajo Basa.
Edwar Djamaris dalam penelitiannya
hanya menemukan satu Tambo yang menuliskan gelar Datuk Ketumanggungan ini
dengan Sultan Al Malik Al Akbar. Sementara ada Tambo lainnya yang menuliskan
dengan Sultan Malik Besar, Sultan Maharaja Besar, dan ini pulalah asal kata
yang menjadi gelar Sutan Paduko Basa, yang bila diindonesiakan menjadi Sultan
Paduka Besar. Dalam bahasa tradisi sehari-hari disebut Sultan Malik Besar,
Sultan Sri Maharaja Besar atau Sutan Paduko Basa, yang kelak kemudian diangkat
sebagai Penghulu Pucuk Bulek Urek Tunggang Kelarasan Koto Piliang dengan
menjunjung gelar kebesaran adat sebagai Datuk Ketumanggungan. Ayah beliau
paduka, yang menjadi suami Puti Indo Jalito adalah seorang raja yang naik ke
pinggang Gunung Merapi, dikenal dengan nama Raja Natan Sangsita Sangkala yang
digelari juga Sang Sapurba dengan nama dinasty Teramberi Tribuwana menurut
cerita Sejarah Melayu.
Ketika resmi menjadi Raja Gunung
Merapi di Pariangan, raja Sang Sapurba ini juga dinobatkan untuk menyandang
gelar "Sultan Sri Maharaja Diraja", sebagai pemegang Tampuk Pulau
Paco, Pulau Emas, Sumatera. Setelah Sultan ini meninggal dunia, kemudian Puti
Indo Jalito kawin dengan seorang Cati Bilang Pandai, seorang Cendekiawan Alim
Ilmu, dipanggil juga dengan gelar nama Niniek Indojati, di Indonesiakan menjadi
Inderajati. Perkawinan ini menurut Djanuir Chalifah Sutan Indra (1970) melahirkan
beberapa orang putra dan putri, yakni :
1. Sultan Indra Alam, yang kelak
bergelar kebesaran adat sebagai Datuk Perpatih Nan Sabatang, pendiri Kelarasan
Bodi Caniago.2. Sultan Iskandar Johan Berdaulatsyah3. Putri Lelo Suli4. Putri
Lelo Jati5. Putri Ambun Suri, keturunannya ada di Malaka.6. Putri Jamilan,
kawin dengan Aditiawarman gelar Sultan Pandak sekitar tahun 1375.
Sementara itu banyak pula Tambo
Minangkabau menyebut namanya sebagai :
1. Sutan Balun yang terkenal dengan
gelar Datuk Perpatih Nan Sabatang2. Puti Reno Sudah (Puti Lelo Jati) di Bungo
Satangkai.3. Puto Cumatang Si Kalab Dunia yang kemudian menyandang gelar Datuk
Sri Maharajo Nan Banego-nego (Sultan Iskandar Johan Berdaulatsyah) 4. Puti
Reno Sudi (Lelo Suli) di Pariangan, Nagari Tuo.5. Puti Reno Mandi, (Puti Ambun
Suri) di Dusun Tuo.6. Puti Reno Jalito (Puti Jamilan) di Ulak Tanjung Bungo,
kemudian kawin dengan Aditiawarman.
Datuk Ketumanggungan dan Datuk
Perpatih Nan Sabatang ini, dua saudara satu ibu lain ayah, kelak dikenal sebagai
pendiri Adat Alam Minangkabau, dengan konsep pemikiran yang saling bertentangan
tetapi menyatu dalam kehidupannya. Datuk Ketumanggungan pendiri Kelarasan Koto
Piliang dengan prinsip “menitik dari langit” (manitiek dari langik), sementara
Datuk Perpatih Nan Sabatang pendiri Kelarasan Bodi Caniago dengan prinsip
“membersit dari bumi” (mambasuik dari bumi).
Pertanyannya sekarang : Apakah Raja
atau Sultan yang menyandang gelar "Sultan Sri Maharajo Dirajo" ini
hanya seorang saja dan hanya punya seorang istri bernama Putri Indojalito di
Pariangan saja ? Selain itu, Raja atau Sultan yang mana sajakah penyandang
gelar Sultan Sri Maharajo Dirajo itu ? Siapakah yang berhak memeberi dan
memakai gelar “Sulthan Sri Maharajo Dirajo” itu ?
Sementara itu berkenaan dengan Putri
Indojalito sendiri, walaupun terdapat berbagai perbedaan nama nama, tetapi pa
da prinsipnya memiliki kesimpulan yang sama, bahwa Putri Indo Jalito dengan
kakak laki-lakinya Datuk Suri Dirajo yang menjadi Penghulu Pariangan, sama
didatangi oleh raja-raja besar dari luar, salah seorang yang naik ke lereng
Gunung Merapi kawin/menikahi Putri Indo Jalito dan dinobatkan dengan gelar
Sultan Sri Maharajo Dirajo, kemudian Indojalito berganti suami dengan Niniek
Indojati atau Hyang Indo Jati, dengan panggilan Tuan Cati, seorang arif
Candokio, bergelar Cati Bilang Pandai, menurut versi Tambo
Minangkabau.Pertanyaannya siapa yang bergelar Tuwan Cati Bilang Pandai ini, dan
siapa-siapa saja pewarisnya yang menyandang gelar ini kelak kemudiannya ?
Sementara Tuan Hyang “Indera Jati”
atau Niniek Indojati merupakan tokoh sentral yang diyakini sebagai niniek
mereka oleh masyarakat tradisi di bekas kerajaan Kesultanan di Indrapura, yang
terletak di bagian selatan Kab. Pesisir Selatan Prov. Sumatera Barat. Tokoh ini
dalam riwayatnya naik ke pinggang gunung Merapi yang kelak menurunkan keturunan
raja-raja Gunung Marapi. Keturunan dari dinasti siapakah Hyang Indera Jati ?
Kenapa ada di sebagian wilayah Kabupaten Pesisir Selatan yang berkeinginan
memakai nama “Indrajati”, (Indojati) sebagai sebuah nama kabupaten baru yang
dicita-citakan mereka?
Apakah sekarang masyarakat tradisi
di Kabupaten Pesisisr Selatan masih “menyimpan rahasia” nama “Indojati”,
khususnya di “Renah Indojati” tentang “saluak baluak” , seluk beluk sejarah Niniek
“Indojati ini ?
Bahwa kalau ditelusuri perjalanan
sejarahnya, dengan mengambil Aditiawarman sebagai faktor kunci penentuan
periode zamannya, maka seperti diketahui bahwa Aditiawarman, adalah keturunan
dari kerajaan Melayu Dharmasraya di sekitar Pulau Punjung, kembali ke Sumatera
setelah lama dibesarkan dan mendapat pendidikan di Jawa sehingga mencapai ke
dudukan sebagai salah seorang Wredamantri di Kerajaan Majapahit. Ia menduduki
tahta Kerajaan Dharmasyraya pada tahun 1318 M (awal abad ke 14 M) menggantikan
kedudukan ibunya Dara Jingga anak kandung “Tuanku Tiga Laras” yang pada
zamannya seorang Raja Besar Melayu bernama Tribuwana Mauli Warmadewa.
Adityawarman kemudian pindah ke
Pagaruyung setelah memperistri Putri Reno Jalito adik bungsu Datuk Perpatih Nan
Sabatang dan Datuk Ketumanggungan. Diangkat menjadi Raja Pagaruyung tahun 1340
M -1375M. Tetapi di masa tuanya konon menurut Buya Hamka ia memasuki agama
Islam dan dinobatkan sebagai Sultan Pandak (I). Karena istrinya Puti Reno
Jalito telah menyandang gelar sebagai Tuan Gadis Puti Jamilan (Islam). Gelar
Sultan Pandak dan nama istrinya Puti Jamilan membuktikan keislaman mereka.
Dapat disimpulkan bahwa periode
zaman Putri Indo Jalito dengan suaminya Sultan Sri Maharajo Dirajo yang
kemudian berganti suami dengan Tuan Hyang Indojati, sampai kepada anak
bungsunya Putri Reno Jalito yang menyandang gelar sebagai Tuan Gadis Jamilan,
adalah sekitar abad ke 14 M. Abad ini menjadi awal keberadaan Nagari Pagaruyung
sebagai Kerajaan Nagari yang kelak kemudian menjadi "Pusek Jalo"
kerajaan-kerajaan se-Alam Minangkabau di Pulau Perca ini . (Di Pulau Perca,
Pulau Emas atau Suwarnabhumi ini terdiri dari 8 wilayah kerajaan kesultanan
yang pada prinsipnya praktis berdiri sendiri-sendiri, dikenal dalam Tambo
sebagai wilayah "Sultan Nan Salapan"). Periode zaman ini manandai
awal keberadaan sejarah Pagaruyung Minangkabau. Dan dari sini pula awal
perjalanan sejarah yang menurunkan raja-raja di Alam Minangkabau dari Luak
sampai ke rantau kemudiannya. Bagaimana riwayat dengan tali temalinya secara
utuh ?
Bagaimana riwayat sebelum itu ?
Sebelum alam bernama "Minangkabau" ?
Catatan dokumen Emral Djamal,
1994.
sumber : https://www.facebook.com/groups/sejarahpessel/doc/494562550557754/
0 komentar:
Posting Komentar