Sabilah pisau sirauik... panakiak batang lintabuan... silodang jadikan nyiru... Nan satitiak jadikan lauik... nan sakapa jadikan gunuang... alam takambang jadi guru...

Tambo Adat Minang Kabau

Written By Unknown on Senin, 30 April 2012 | 21.29


Cupak nan Duo, Tambo dan Sejarah
 

Mengapa harus mempelajari tambo ? Tambo berbeda dengan sejarah.
Sampai kini belum ada di dalam perbendaharaan kalimat bahasa kita "dendam tambo", akan tetapi sebaliknya, banyak diantara kita yang menderita "dendam sejarah" yang tidak bisa dihilangkan begitu saja pada diri orang pribadi maupun kelompok, meskipun ajaran agama mengajarkan untuk tidak mendendam !
Kalau manusia membutuhkan sejarah untuk diambil hikmah dari catatan yang bersifat kuantitatif dan objektif yang diperiksa dari peristiwa-peristiwa masa lalunya, maka tambopun bisa diambil hikmahnya dari pe rasa an orang/sekelompok orang terhadap budaya masa-lalunya, yang nilainya bersifat kualitatif dan subjektif
Hal inilah yang dipesankan oleh nenek moyang, agar manusia di dalam hidup di dunia memakai raso dengan pereso atau raso dibawa naik ke atas (dari hati ke otak kanan) dan pareso dibawa turun (dari otak kiri ke pancaindera.)
Oleh sebab itu jagalah pertumbuhan dan perkembangan otak balita dengan makanan bergizi untuk memahami hakikat yang terkandung di dalam tambo ini.

Tambo Adat Minang Kabau

Adapun waris yang diterima, berupa pesan orang tua-tua dahulunya:

 Nan sebaris berpantang hilang, setapak berpantang lupa.
Kalau hilang nan sebaris, kepada guru coba tanyakan.
Kalau lupa yang setapak, carilah tunggul bekas tebangannya.
Adapun waris yang diterima, petuah oleh guru agama: Mengaji dimulai dari alif.
Petuah dari mamak (paman): Membilang dimulai dari aso/satu (asal-mula bilangan).
Nan asal-mula, Allah.
Dua, bumi.
Tiga, hari
Nan satu empat, air sembahyang
Lima, pintu rejeki.
Enam, janin dalam kandungan ibunya.
Tujuh, pangkat manusia.
Delapan, pangkat surga.
Sembilan, pangkat Muhammad.
Kesepuluh Muhammad jadi, di situ berkata tuhan kita.
Kun, katanya Allah.
Fayakun, kata Muhammad.
Nabikun, kata Jibrail.
Yaa Ibrahi, kata bumi dan langit.
Kibrakun, kata Adam, jadi segala pekerjaan
Apa nan terjadi.
Sejak dari Luah dengan Qalam sampai ke Arasy dengan Kurisyi, semua surga dengan neraka, hingga bulan dengan matahari, langit serta bumi dengan semua isinya terkadung di dalam wahdaniah tuhan.
Adalah lima perkara
Mana yang lima perkara itu.
Tanah baki, tanah baku, tanah hitam, tanah merah dengan tanah putih. (catatan: Manusia berasal dari tanah)
Tanah digengam oleh Jibrail,
dibawa terbang ke hadirat Tuhan, terhantar di atas meja,
di situ biji menjadi batang, di sana kapas menjadi benang,
di situ langit beranjak naik, di sana bumi menghantam turun, 
di situ si kecil maka diberi nama, di sana yang besar diberi gelar,
di situ Adam bertempat, iya sebagai penunggu isi dunia.
Karena lama-sangat lama, karena asal-berasal pula,
karena bukit-tumbukan kabut, karena laut-empangnya muara.
Habis tahun berganti tahun, maka melahirkanlah si ibu manusia, Siti Hawa, sebanyak empat puluh kurang satu atau 39 orang.
Maka dikawinkanlah se orang kepada yang se orang
Yang bungsu tidak berjodoh, maka bernazarlah nabi Adam ketika itu.
"Ya Allah, ya rabbil alamin, perkenankanlah aku dengan anak cucu aku kesemuanya."
Kehendak sedang dipenuhi, permintaan sedang dikabulkan, maksud sedang diterima Tuhan.
Berfirmanlah Tuhan kepada Jibrail.
Hai malaikat Jibrail, pergilah engkau ke surga nan delapan. Kabarkan kepada anak bidadari yang bernama Puti Dewanghari, anak dari Puti Andarasan bahwa dia akan diambil oleh Sutan Rajo Alam di atas dunia.
Maka terbanglah Jibrail ke surga nan delapan mengabarkan kepada Puti Dewanghari, bahwa dia akan dipasangkan dengan Sutan Rajo Alam di atas dunia.
Maka memandanglah Puti Dewanghari ke atas dunia, tampaklah anak Adam di atas alam Sigumawang, antara huwa dengan hiya dikandung Abun dengan Makbun.
Wallahualam.
Besar hati, maka dikumpulkannya alat-peragat kesemuanya, iyalah payung-panji kuning, payung berjepit timbal-balik, lengkap serta umbul-umbul merawal kuning, seperti alas kaki-selop bertahtakan intan berlian buatan orang di surga, maka bertemulah mereka di puncak bukit Qaf, lalu dinikahkan oleh tuan kadi Rambun Azali di pangkal titian Tujuh, di bawah nisan nan keramat.
Maka dibakarlah kemenyan putih, asap menjulang ke udara, terkejut sekalian malaikat, tercengang semua bidadari, menyembar kilat di langit, bergegar petir atas bumi, terang benderang terus ke langit yang ke tujuh, terhentak ke hadirat tuhan sebagai saksi pernikahan.
Lama, sudah lama sekali, habis hari berganti bulan, habis bulan berganti tahun, salah seorang anak cucu beliau yang bergelar Sutan Sikandarareni (Iskandar Zulkarnain) menjadi raja berkuasa seluruh dunia dan mempunyai keturunan.
Yang pertama, Sutan Maharaja Alif, kedua Sutan Maharaja Depang, dan yang ketiga Sutan Maharajo Dirajo.
Sutan Maharaja Alif memerintah di Banuruhum (benua Rum).
Sutan Maharaja Depang memerintah di negeri Cina, sedangkan Sutan Maharajo Dirajo pergi ke pulau Perca, memerintah di Pariangan Padang Panjang, di kaki gunung Merapi di negeri yang belum bernama Minang Kabau.

Perjalanan Sutan Maharajo Dirajo

Adapun Sutan Sikandareni, rajo alam nan arif bijaksana, melihat anak sudah beranjak dewasa, yang sudah masak berlatih silat dengan pengajaran, timbul niat dalam hati hendak menyuruh anak pergi merantau mancari ilmu serta pengalaman.

 Terpikirlah pada masa itu dengan apa anak akan dilepas berlayar ke lautan luas.
Terbayanglah sebatang kayu besar yang tumbuh di hulu batang Masia (Egypt) bernama kayuSajatalobi, daunnya rimbun, rantingnya banyak, batang panjang lurus pula.
Muncul pikiran hendak menebangnya guna dibuat pencalang tiga buah untuk melepas anak pergi merantau.
Maka dikumpulkan semua cerdik pandai di tanah Arab
Dibawa kapak dan beliung untuk menebang kayu tersebut, sudah banyak orang menebang, sudah tujuh puluh tujuh beliuang sumbing, sudah tiga puluh tiga kapak yang patah, namun batang kayu besar itu tidak juga kunjung rebah, apakah gerangan penyebabnya.
Karena rukun syarat belum terpenuhi, maka datanglah orang cerdik pandai memberi petunjuk-pengajaran, lalu dikumpulkanlah orang banyak.
Disembelih kibasy dan unta, dibakar kemenyan putih, asap menjulang ke udara, orang mendoa kesemuanya, memintaklah Sutan Sikanderani "Ya Allah, ya rabbil alamin, perkenankanlah aku menebang kayu Sajatalobi untuk mengarungi lautan luas."
Keinginan sedang dikabulkan, permintaan ada diterima, berguncanglah hulu batang Masie, gempa nagari tujuh hari tujuh malam, sehingga banyak kayu yang rebah termasuk batang Sajatalobi.
Oleh orang yang berilmu diambil daun dan batangnya.
Daun diramu menjadi tinta, kulit disamak menjadi kertas guna menuliskan kalam Ilahi dipakai mengaji umat nan banyak.
Kulit batangnya dibuat menjadi kain untuk beribadat kepada Allah.
Kalau berdenyut empu jari kaki, menyentak ke ubun-ubun, mata hijau, nafas berlalu, dunia berpindah ke akhirat, sakit kita dalam kubur sengketa sampai ke padang mahsyar, hangat cahaya tiang arasy, lapuk berserak di neraka.
Tapi kalau kita ada sembahyang, Kur'an dan hadis menjadi pedoman, suruh dikerjakan, tegah dihentikan, sepanjang kabar dari guru-guru kita, maka elok masuk punca ke hulunya, bilangan dunia kalau dipahami, janji akhirat kalaulah tiba, pesan nagari kalau lah datang, janji dahulu ditepati, dunia berpindah ke akhirat, senanglah diri di dalam kubur, lepas ke tengah padang mahsyar, teduh cahaya tiang arasy, pulanglah kita ke surga, melihat junjungan bersanding dengan khadijah dalam surga jannatun naim.
Rebahlah kayu Sajatalobi, batangnya dikerat menjadi tiga untuk pembuat pencalang tiga pula.
Satu pencalang Sutan Maharaja Alif, satu pencalang Maharajo Depang dan satu lagi pencalang untuk Sutan Maharajo Dirajo.
Hari petang, malampun datang, dipanggil anak kesemuanya, diberi petunjuk-pengajaran sebagai ganti bekal merantau.
Jatuh kepada Sutan Maharaja Alif menerima mahkota emas, Sutan Maharaja Depang menerima bekal berbentuk perkakas tukang, Sutan Maharajo Dirajo menerima kitab berisi undang.
Ayam berkokok subuhpun tiba, hari pagi matahari terbit, berangkatlah anak ketiganya.
Adapun Sutan Maharaja Alif tambonya ditutup, belum akan dibuka saat ini.
Tentang Sutan Maharaja Depang kisah habis sampai di sini saja !
Sutan Maharaja Dirajo terus berlayar ke pulau Perca, berkawan dengan Syeh Soleh yang bergelar Cateri Bilang Pandai, orang cerdik bijak arif cendekia, anak orang hulu sungai Masia.
Diperjalanan bertambah kawan yang seorang bergelar Harimau Campa, yang seorang lagi bergelar Kambing Hutan, yang ketiga bergelar Kucing Siam, yang seorang lagi parewa (preman) nan bergelar Anjing Mualim.

Adapun Cateri Bilang Pandai - orang pandai menarah-menelakang, mahir menjarum-manjarumek, bisa mematri dengan air liur, pandai bersisir di dalam air - mampu memanah dalam kelam, kelam-temaram gila buta, bersilang saja anak panahnya, langsung kena di sasarannya - pandai membuat sambang loji nan berpasak dari dalam - belum diraih sudah terbuka - langsung tiba di tujuannya.

Begitu pula si Harimau Campa, orang berani dari India, badan berbulu sekujur tubuh - orang takut untuk melawan, bila memukul laksana guruh, cepat kaki bak petir - bila kena gunung, gunungpun runtuh - kena batu, batupun pecah - pandai menyambut dengan menangkap, pintar mengipas dan melepas - pandai bersilat serta berkiat, kalau melompat laksana kilat.

Kalau disebut Kambing Hutan, karena betanduk di kepala - kencang berlari di dalam rimba, tahu di padang nan berliku, tahu di tanjung yang berbelit, mengerti di lurah nan berbatu, paham di akar yang akan melilit - berbenak di empu kaki, beraja di hati, bersutan di mata, keras hati allahurabbi - kalau masalah berhitung letak di belakang.

Dikaji pula Kucing Siampandai menyuruk di ilalang sehelai - mengambil tidak kehilangan - sikap seperti Singa lelap, pandai menipu dengan menelikung, kalau melangkah tidak berdesir, melompat tidak berbunyi - konon lidahnya tidak berengsel, mulut manis bak tengguli - kalau menggaruk tidak berbekas, sudah pedih saja baru ketahuan.

Begitu pula si Anjing Mualim parewa, preman yang datang dari Himalaya, mata merah bak saga, gigi tajam berbisa pula, nafas tahan, larinya kencang. Pandai mengintai di tempat terang, pandai bernafas di dalam bencah. Sebelum berhasil pantang menyerah, pandai menikam jejak tinggal, jejak ditikam mati juga - berhidung tajam bak sembilu - biar kampung sudah berpagar, dia sudah sampai di dalam.



Fakta dan interpretasi:

  • Mahkota emas Sijatajati yang berbentuk tanduk diabadikan masyarakat menjadi tengkuluk (tutup kepala) oleh kaum perempuan Minang.
    Sutan Sikandar Reni dalam al Qur'an disebut Iskandar Zulkarnain yang artinya raja yang mempunyai dua tanduk atau Alexander the Great, king of Macedonia.
  • Berbeda dengan dengan Sutan Maharajo Alif (Barat) yang mengutamakan kekuasaan (mahkota) dan Sutan Maharaja Depang (Timur) yang mendahulukan keterampilan, maka menurut tambo Sutan Maharaja Dirajo (Minang Kabau) dituntut untuk mempelajari buku dan etika.
    Selanjutnya tambo mengisahkan
    Negeri yang belum bernama Minang Kabau ini bertahan ratusan tahun sepanjang umurnya Sutan atau Datuak Maharajo Dirajo yang diyakini sebagai manusia setengah dewa yang dianugrahi umur ratusan tahun.
    Setelah beliau mangkat pemerintahan dilanjutkan oleh Datuak Suri Dirajo, penghulu kepercayaannya.
    Salah seorang janda Datuak Maharajo Dirajo yang bergelar Puti Indo Julito, dikawini oleh Cati Bilang Pandai, orang kepercayaan almarhum yang kemudian memboyong keluarga beserta anak-anaknya Jatang Sutan Balun, Puti Jamilan, Sutan Sakalap Dunia, Puti Reno Sudah dan Mambang Sutan ke Dusun Tuo Limo Kaum.
    Selanjutnya setelah mereka dewasa Datuak Suri Dirajo bermufakat bersama Cati Bilang Pandai untuk mengangkat:
    Sutan Paduko Basa dengan gelar Datuak Katumangguangan dan
    Jatang Sutan Balun dengan gelar Datuak Perpatiah Nan Sabatang serta
    Sutan Sakalap Dunia dengan gelar Datuak Surimarajo nan Banego-nego sebagai penghulu-penghulu yang akan membantu beliau.
    Keputusan ini dimufakati di atas Batu Nan Tigo dengan meminumkan air keris Si Ganjo Erahdengan sumpah setia:
    Bakato bana, babuek baiak, mahukum adia, bilo dilangga, ka ateh indak bapucuak, ka bawah indak baurek, di-tangah-tangah digiriak kumbang atau 
    Berkata benar, berbuat baik, menghukum adil. Bila dilanggar (ibarat sebatang pohon), ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berakar, di tengah-tengah digirik kumbang pula.
    Ibunda Puti Indo Julito menyerahkan pusaka keris Siganjo Erah dan Siganjo Aia serta Tungkek Janawi Haluih kepada Datuak Ketumangguangan.
    Untuk Datuak Parpatiah Nan Sabatang menerima keris Balangkuak Cerek Simundam Manti dan Simundam Panuah serta Payuang Kuniang Kabasaran (pertama Ranah Minang menerapkan warisan dari ibu)
    Selanjutnya Istano Dusun Tuo menjadi pusat pemerintahan melanjutkan kepemimpinan Datuak Suri Dirajo yang meghabiskan masa tua di Istano Koto Batu.

    Mengambil tempat di atas Batu Panta mulai disusun peraturan-peraturan pemerintahan yang selanjutnya dihasilkan 22 aturan yang terdiri dari 4 perangkat Undang-undang Adat.
    4 Undang-undang Nagari.
    4 Undang-undang Koto.
    4 Undang-undang Luhak dan Nagari.
    4 Undang-undang Hukum.
    2 Undang-undang Cupak yang kesemuanya disahkan dengan persumpahan yang masing-masing meminum air keris Siganjo Erah di atas Batu Kasua Bunta di Dusun Tuo Limo Kaum.
    Setelah Undang-undang nan 22 tersebut disahkan, di Dusun Tuo dibentuk 4 Suku dengan Pangulu masing-masing yaitu:
  • Suku Caniago dipimpin Datuak Sabatang.
  • Suku Tujuah Rumah Dt. Rajo Saie.
  • Suku Korong Gadang Dt. Intan Sampono dan
  • Suku Sumagek oleh Dt. Rajo Bandaro.Pada saat itu juga dilantik 2 orang Dubalang iaitu Sutan Congkong Tenggi dan Sutan Balai Sijanguah kesemuanya dilantik dibawah pasumpahan Datuak Parpatiah Nan Sabatang sedangkan Datuak Katumangguangan meminumkan Air Keris Siganjo Aia.
    Tidak berapa lama kemudian disusul pula pembentukan 8 Suku lengkap dengan pangulunya di daerah Pariangan yaitu:
    Suku Piliang dipimpin oleh Datuak Sinaro Nan Bagabang.
    Koto Dt. Basa.
    Malayu Dt. Basa.
    Pisang Dt. Kayo
    Sikumbang Dt. Maruhun.
    Piliang Laweh Dt. Marajo Depang.
    Dalimo Dt. Suri Dirajo dan Limo Panjang Dt. Tunaro.
    Kemudian disusul 5 Suku di Padang Panjang yaitu:
    Suku Kuantan dipimpin oleh Datuak Amat Dirajo.
    Piliang Dt. Maharajo Basa.
    Dalimo Dt. Jo Basa.
    Piliang Laweh Dt. Indo Sajati.
    Dalimo Panjang Dt. Maharajo Suri.
    Kemudian disusul 6 Suku di daerah Guguak yaitu:
    Suku Piliang dipimpin oleh Datuak Rajo Mangkuto.
    Malayu Dt. Tunbijo.
    Koto Dt. Gadang.
    Dalimo Dt. Simarajo.
    Pisang Dt. Cumano.
    Piliang Laweh Dt. Rajo Malano.
    Selanjutnya 3 Suku di daerah Sikaladi yaitu:
    Suku Sikumbang dipimpin oleh Datuak Tumbijo.
    Dalimo Dt. Barbangso 
    Suku Koto Dt. Marajo.
    Ke 22 orang Pangulu Suku ini dilantik oleh oleh Datuak Katumangguangan sedang pasumpahan dengan meminumkan Air Keris Sampono Ganjo Aia oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang.
    Setelah peresmian Suku yang 22 ini, Datuak Berdua menugaskan Suku Korong Gadang untuk memelihara Batu Panta.
    Sedangkan Batu Kasua Bunta tangguang jawab Suku Tujuah Rumah dan Batu Pacaturan oleh Suku Sumagek (ketiga batu bersejarah ini sampai sekarang masih terawat dan dapat dilihat di Dusun Tuo Limo Kaum Batu Sangkar).

    Walaupun pembentukan Luhak Nan Tigo sudah digariskan sejak kepemimpinan Datuak Maharajo Dirajo dipuncak Merapi namun ketegasan batas-batas belum ada, maka kedua Datuak membuat ketegasan yang ditandai dengan mengeping sebuah batu menjadi 3 bagian yang tidak putus dipangkalnya.
    Hal ini bermakna Luhak nan Tigo berbagi, tidak bercerai namun belum diikuti dengan pembagian Suku (batu ini dapat dilihat di Dusun Tuo Limo Kaum).

    Sebelum diadakan pembagian Suku untuk Luhak nan Tigo, Datuak Katumangguangan memancang tanah dan membuat sebuah nagari yang kemudian diberi nama Sungai Tarab dan menempatkan adiknya Puti Reno Sudah, bersama 8 Keluarga sekaligus membentuk 8 Suku, lengkap dengan Pangulu yaitu Suku Piliang Sani dibawah Datuak Rajo Pangkuto, Piliang Laweh Dt. Majo Indo, Bendang Dt. Rajo Pangulu, Mandailiang Dt. Tamani, Bodi Dt. Sinaro, Bendang Dt. Simarajo, Piliang Dt. Rajo Malano dan Suku Nan Anam di bawah Datuak Rajo Pangulu yang kesemuanya dilantik di Kampuang Bendang.

    Selanjutnya beliau menunjuk kemenakannya, anak Puti Reno Sudah, yang bergelar Datuak Bandaro Putiah sebagai Pangulu Pucuak.
    Pelantikan dilakukan oleh beliau sendiri di atas Batu 7 Tapak dengan pasumpahan meminum Air Keris Siganjo Aia (Batu 7 Tapak ini bisa dilihat di rumah salah seorang penduduk di Sungai Tarab).

    Selanjutnya Datuak Ketumangguangan memerintahkan Datuak Bandaro Putiah bersama 8 Pangulu Sungai Tarab lainnya agar di sekeliling nagari Sungai Tarab dibangun 22 Koto sebagai benteng dan kubu pertahanan.
    Diantaranya 8 Koto Kapak Radai (Pati, Situmbuak, Selo, Sumaniak, Gunuang Medan, Talang tangah Guguak dan Padang Laweh).
    2 Ikua Koto (Sijangek dan Koto Panjang).
    2 Koto di kapalo (Koto Tuo dan Pasia Laweh).
    1 Koto di puncak (Gombak Koto Baru).
    1 Koto sebagai Katitiran di ujuang Tunjuak (Ampalu).

    Kemudian bersama Datuak Parpatiah Nan Sabatang menjalani Luhak Agam dengan membangun Biaro dengan pangulu Pucuak Datuak Bandaro Panjang.
    Baso di bawah Datuak Bandaro Kuniang yang dilantik dan disumpah setia dengan meminumkan Air Keris Siganjo Erah di dusun Tabek Panjang.
    Selanjutnya kedua Pangulu ini ditugaskan membangun nagari-nagari di Luhak Agam.

    Sedangkan di Luhak 50 Koto datuak berdua membangun nagari Situjuah, Batu Hampa, Koto Nan Gadang dan Koto Nan Ampek dan melantik Datuak Rajo Nun dan Datuak Sadi Awal yang selanjutnya ditugaskan membangun nagari di Luhak tersebut.

    Setelah Luhak nan Tigo dibari bapangulu, Datuak Perpatiah Nan Sabatang tidak mau ketinggalan dengan Datuak Katumangguangan.
    Beliau meluaskan daerah ke arah timur Dusun Tuo dengan membentuk suku dengan pangulunya antara lain di Korong Balai Batu dibentuk Suku Sungai Napa di bawah Datuak Basa, Jambak Dt. Putiah.

    Dibawah kepiawaian kedua Datuak Ketumangguangan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang sistem pemerintahan adat menjadi semakin kemilau, hingga beberapa dekade kemudian kedatanganAdityawarman, seorang Pangeran Mojopahit yang ingin merobah secara total sistem pemerintahan adat di negeri ini mendapat tantangan keras dari para Datuak Basa Ampek Balai.

    Kehadiran negarawan Mojopahit ini bukan tidak ada segi positifnya, bahkan beberapa pimpinan pemerintahan adat Kelarasan Koto Piliang dan Bodi Caniago berkesempatan bersama Adityawarman hadir di istana Mojopahit melakukan kunjungan muhibah ke istana kaisar didaratan Cina.

    Kalaupun corak pemerintahan ala Mojopahit pernah ingin dipaksakan di ranah Minang namun tidak bertahan lama.

    Setelah Adityawarman tewas dalam suatu insiden, sistem pemerintahan adat diterapkan kembali sebagaimana dikatakan "Luhak dibari Bapangulu" dan sistem ini adopsi oleh Kelarasan Koto Piliang, terutama untuk daerah-daerah di luar Luhak nan Tigo sebagai Rantau Minang Kabau, seperti yang disebutkan "Rantau Dibari Barajo".


    Minang Kabau menurut Barih Balabeh Tambo Adat Minang Kabau
    Dahulu Minang Kabau tidak memiliki hukum positif, yang ada hanya hukum rimba "Siapa Kuat Siapa malanda, siapa tinggi siapa manimpa" kemudian oleh dua orang bijak yaitu Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah nan Sabatang membuat sebuah perangkat Hukum Adat/Suku agar diperoleh Perdamaian dalam nagari dimana "nan lemah dilindungi dan keadilan bagi semua anak nagari.

    Agar mudah mengawasinya dibuatlah ukuran untuk baik atau buruk suatu tindakan dan perbuatan "Di ukua jo jangko, dibari balabeh, dicupak jo gantang, dibungka jo naraco, disuri jo banang".


    Sumber : http://nagari.or.id/?moda=tambo
  • 0 komentar:

    Posting Komentar