Sabilah pisau sirauik... panakiak batang lintabuan... silodang jadikan nyiru... Nan satitiak jadikan lauik... nan sakapa jadikan gunuang... alam takambang jadi guru...
Seorang pecundang mengatakan bahwa bangsa Minangkabau adalah bangsa pemimpi yang suka berpangku tangan, tapi kami bangsa Minangkabau berkata, ya kami adalah pemimpi, pemimpi untuk jadi besar dan sukses, itulah sebabnya kami punya tradisi dimana setiap anak lelaki diakhir baligh-nya akan berjalan meninggalkan tanah kelahirannya mencari jati diri dan posisi di masyarakat dan pemerintahan, dan torehan mimpi mimpi bangsa Minangkabau itu bisa dilihat dari sejarah bangsa ini hingga sekarang.

Search

Nan Mancibuak Kasiko

Asal-usul nama minangkabau

Written By Unknown on Senin, 30 April 2012 | 22.39

Asal-usul nama minangkabau sangat beragam, tetapi berdasarkan tambo, nama itu berasal dari peristiwa kemenangan orang Minangkabau dalam adu kerbau dengan orang-orang kerajaan Majapahit yang ingin merebut wilayah ini (Gusdiasdial), seperti yang dibunyikan talibun dalam Tambo asal usul nama minangkabau dibawah ini:

Karano tanduak basi paruik tajalo

Mati di Padang Koto Ranah

Tuo jo Mudo sungguahpun heran

Datangnya indak karano diimbau

Dek karano Cadiak Niniak kito

Lantaran manyambuang di galanggang tanah

Dipadapek tuah kamujuran

Timbualah namo Minangkabau

Masyarakat minangkabau merupakan salah satu masyarakat yang masih berpegang teguh kepada adat istiadat mereka. Sistem kekerabatan matrilinial merupakan salah satu pembeda dengan suku bangsa lain yang terdapat di Indonesia.


DARI KATA MINANGA TAMWAN

Prof.Dr.Poerbacaraka mengatakan bahwa nama Minangkabau berasal dari kata dalam bahasa Sangsekerta yaitu Minanga Tamwan. Kata-kata ini terdapat dalam Prasasti Kedukan Bukit.

Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti yang menceritakan tentang kisah perluasan wilayah Minanga Tamwan. Yaitu perluasan wilayah yang bermula dari kemenangan utusan Raja Minanga Tamwan yang dipimpin Datuk Cribijaya (Dt.Sibijayo, Panglima Perang Minanga Tamwan) melawan Bajak Laut yang banyak meresahkan masyarakat di sekitar Sungai Palembang (Sungai Musi) sekarang.

Dalam prasasti ini disebutkan antara lain,

“Yang Dipertuan Hyang melepas duapuluh laksa

tentara dari Minanga Tamwan yang dipimpin

Cribijaya (Dt.Sibijayo) melalui perjalanan suci,

dengan tujuan memperluas negara hingga

mendatangkan kemakmuran.”

Semua ini dituangkan Prof.Dr.Poerbacaraka dalam bukunya Riwayat Indonesia I. Hanya saja di manakah letak daerah Minanga Tamwan itu, hingga saat ini masih menjadi perdebatan. Menurut keterengan Prof.Dr.Poerbacaraka yang disebut Minanga Tamwan itu adalah daerah yang terletak di antara dua Sungai Besar yang bertemu.

Sebagian ahli ada yang menduga bahwa dua sungai besar itu adalah Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Namun bila yang dimaksud adalah Sungai Kampar Kiri dan Kampar Kanan, maka kemungkinan besar daerah tersebut ada di sekitar Muara Takus.


Sejarahawan Indonesia (MSI) Luhak Limopuluah (Yulfian Azrial,dkk-2003), Minanga Tamwan bisa saja bukanlah dimaksudkan sebagai pertemuan antara dua sungai besar secara fisik. Karena pertemuan sungai secara fisik tentu lebih lazim disebut sebagai muara bukannya Minanga Tamwan.

Tetapi Minanga Tamwan justru bisa saja menunjukkan suatu daerah atau kawasan yang menjadi tempat pertemuan masyarakat dari dua sungai besar. Hal ini karena jalan raya utama masyarakat kita pada zaman dahulu adalah sungai.

Maka kalau kita lihat dari peta, dua sungai besar itu di kawasan pulau Sumatera bagian tengah ini hanya satu, yaitu daerah yang terdapat antara Hulu Sungai Kampar dengan Batang Sinamar (Kuantan/Indragiri). Kawasan ini berada antara Maek dan Mungka. Tepatnya yaitu di Bukit Batu Bulan di Nagari Talang Maua.

Daerah ini juga berada tepat tidak jauh dari garis Khatulistiwa. Kemudian kalau ditinjau dari asal usul katanya menurut Bahasa tamil, maka kata Talang itu berasal dari kata Ta yang berarti besar dan Lang adalah bandar. Jadi Talang artinya bandar besar.

Keberadaan Bukit Batu Bulan ini dapat digambarkan sebagai berikut : Satu sisinya turun ke Batang Kampar di Maek, sedangkan sisi yang lain turun ke Batang Sinamar yang kehilirnya dike-nal juga sebagai Batang Kuan¬tan atau Sungai Indragiri.

Di atas bukit ini terdapat beberapa situs yang merupakan bekas pusat perdagangan besar seperti Ranah Pokan Akad, Ranah Pokan Selasa, Ranah Pokan Komih, Ronah Pokan Jumat, Ra-nah Pokan Sabtu,dll.

Tempat ini jelas pernah mempertemukan pedagang yang naik dari dua sungai besar, yaitu yang naik lewat Batang Kampar dan dan yang naik dari Batang Kuantan (Indragiri). Namun untuk memastikan hal ini ma¬sih diperlukan penelitian lebih lanjut.

DARI KATA PINANG KHABU

Prof.Van der Tuuk, seorang profesor kebangsaan Belanda mengatakan bahwa Minangkabau merupakan Pinang Khabu. Yaitu tanah pangkal, tanah asal atau tanah leluhur.. Pendapat ini dikuatkan pula oleh pernyataan Thomas Stanford Raffles, seorang ahli kebangsaan Inggris yang pernah menjabat Gubernur Jenderal Inggris di Indonesia pada tahun 1811 hingga 1818.

Pernyatan ini tertuang di dalam keterangannya setelah melakukan penjelajahan ke berbagai pelosok nagari dan hutan-hutan di wilayah Sumatera Tengah. Dalam sebuah catatannya Raffles menyatakan bahwa : “…. Di sini kita menemukan bekas-bekas suatu kerajaan besar (Minangkabau) yang namanya hampir-hampir tidak kita kenal sama sekali, tetapi sangat nyata merupakan tempat asal bangsa-bangsa Melayu yang bertebaran di Kepulauan Nusantara.”

Untuk memudahkan kita mengingat perjalanan Raffles ini, nama bunga Raflesia adalah salah satu kenang-kenangan untuk mengabadikan penjelajahan alam yang dilakukan Raffles tersebut. Raflesia maksudnya yaitu nama bagi sejenis bunga raksasa yang ditemukan oleh Raffles. Di Ranah Minang kita biasa menyebutnya dengan Bungo Bangkai.

Pernyataan bahwa Minangkabau merupakan tanah asal ini didukung pula oleh banyak data dan fakta. Apalagi semua suku bangsa Melayu menurut sejarah memang berasal dari Minangkabau. Seperti Melayu Riau, Jambi, Deli, Aceh, Palembang, Melayu Semenanjung, Kalimantan, dan Bugis. Bahkan Suku Kubu, Sakai, Talang Mamak, Suku Anak Laut di Selat Malaka, dll, mengaku berasal dari Minangkabau.

Bukti lain tentang hal ini misalnya seperti pengakuan yang terpahat menjadi prasasti di makam Seri Sultan Tajuddin di Brunai yang antara lain berbunyi sebagai berikut :

“Maka Seri Sultan Tajuddin memerintahkan kepada Tuan Haji Khatib Abdul Latif supaya menerangkan silsilah ini agar diketahui anak cucu, raja yang mempunyai tahta kerajaan di Negara Brunai Darussalam turun-temurun yang meng¬ambil pusaka nobat negara dan genta alamat dari negeri Johor Kamalul Maqam, yang mengambil pusaka nobat negara dan alamat dari Minangkabau nagari Andalas…dst”.

Parasasti ini menggambarkan bahwa orang-orang Melayu yang berada di Semenanjung Malaysia sekarang juga berasal dari Minangkabau. Misalnya seperti yang di Johor, Selangor, Malaka, Pahang, dll. Bahkan sampai ke generasi yang paling akhir, yaitu yang kemudian menghuni Negeri IX. Menurut sejarah, umumnya mereka ini menyeberang Selat Malaka setelah melewati aliran Batang Rokan dan Batang Kampar.

DARI KATA MENON COBOS

Menurut Prof.Dr.Muhamad Hussein Nainar, seorang guru besar di Universitas Madras. Menurutnya kata Minangkabau berasal dari kata Menon Cobos.

Menon Cobos artinya adalah tanah mulia atau tanah murni. Dianggap sebagai tanah mur¬ni atau tanah mulia karena daerah ini juga dianggap sebagai tempat asal para leluhur orang-orang Melayu.

DARI KATA BINANGA KANVAR

Menurut Prof.Sutan Muhammad Zain kata Minangkabau berasal dari Binanga Kanvar. Binanga Kanvar artinya adalah muara Sungai Kampar. Menurutnya di Muara Sungai Kampar inilah bermulanya kera¬jaan Minangkabau.

Pendapat lain yang senada dengan Prof.Sutan Muhammad Zain adalah pernyataan seorang kebangsaan Cina yang bernama Chan Yu Kua. Pernyataan ini ia tuliskan di dalam catatan perjalanannya.

Di dalam catatan itu ia menerangkan bahwa sewaktu ia pernah datang ke Muara Kampar pada abad ke 13. Dijelaskannya bahwa di Muara Kampar itu didapatinya sebuah bandar dagang yang paling ramai di pusat Pulau Sumatera. Catatan ini mengingatkan kita pada catatan serupa dari pendahulunya, I-Tsing beberapa abad sebelumnya.


DARI KATA MINA KAMBWA

Sewaktu melakukan penelitian untuk pendalaman materi di beberapa buku ini, saya (Yulfian Azrial, 2011) melihat bahwa kata Minangkabau juga bisa berasal dari istilah dalam bahasa Sanskerta, yaitu kata Mina Kambwa. Mina Kabwa artinya negeri Pilar Naga atau negeri Pilar Langit yang terdiri dari deretan Gunung Berapi.
Dari segi etimologi, kata mina dalam Bahasa Sanskerta berarti Naga. Dalam kisah-kisah Hindu Kuno, istilah Mina atau Naga sering digambarkan sebagai simbol dari gugusan gunung berapi yang terdapat di pegunungan Bukit Barisan sekarang. Sedangkan Kambwa atau Skambwa berati pilar atau semacam tiang penyangga langit. Jadi Mina Kambwa artinya tiang atau pilar penyangga langit yang terdiri dari gugusan gunung berapi.

Istilah Mina Kambwa ini sering disebut dalam mandala-mandala Hindu. Dalam mandala-mandala Hindu seperti dalam Shri Yantra dan Kalachakra Mandala, deretan gunung merapi di gugusan pegunungan bukit barisan ini sering disebut sebagai Gunung Meru atau Gunung Suci sorga. Gunung yang terbesar dan tertinggi disebut Gunung Mahameru yang sering dilambangkan dengan piramida besar. Gunung ini oleh sebagian besar ahli diduga adalah Gunung Krakatau yang meletus pada tahun 11.600 SM.

Pada saat itu gunung tersebut meledak dengan ledakan supervuklanis-nya, yang membuat gunung itu runtuh seperti balon yang bocor. Puncak gunung yang semula tinggi ini tenggelam di bawah laut, berubah menjadi kaldera raksasa. Asap dan debunya bahkan menutupi hampir seluruh langit dunia. Hal yang membuat para ahli Geologi dan Fisikawan nuklir berpendapat bahwa inilah yang menyebabkan berakhirnya Zaman Es Pleistosen.16

Sebelum meletusnya Gunung Krakatau digambarkan bahwa di kawasan ini terdapat puncak-puncak peradaban dunia yang kemudian menyebar ke belahan dunia lain.17 Untuk mengenang peradaban di tanah leluhurnya ini, maka di berbagai tempat penyebarannya ditemukan banyak simbol tentang segitiga. Simbol yang melambangkan Gunung Meru atau Gunung Suci sorga.

Bahkan di sejumlah tempat dibangun sejumlah duplikat Gunung Meru ini yang lazim disebut piramida. Misalnya seperti yang ditemukan di Mesir, Mesopotamia, Yunani, pada suku Maya, dan suku Aztek di benua Amerika. Bahkan dengan meletakkan jenazah di dalam bangunan ini, dibayangkan oleh mereka sebagai meletakkan para almarhum di perut Gunung Sorga.



22.39 | 3 komentar | Read More

Tantang Tambo

Minangkabau alun punyo tradisi tulih-manulih sampai datang Islam.Untuak "marekam" parjalanan sejarah, niniak muyang kito mangambangkan tradisi lisan.Tradisi lisan tu balansuang dalam babarapo kagiatan atau wadah budaya:
1. Tradisi kaba, bakaba, sarato sagalo variasinyo, sarupo sijobang, dendang, rabab, salawat dulang, dll.
2. Tradisi pasambahan, panitahan, pidato adat, sarato sagalo variasinyo, nan taruih bajalan sapanjang zaman pado satiok upacara adat.
3. Tradisi maota di lapau nan masih balansuang;
4. Tradisi surau nan muloi pupuih.

Rekaman peristiwa sejarah sacaro lisan tu antaro lain barisi apo nan disabuik tambo.
Rekaman tu nan bapindah2 dari satiok anggota masyarakat Minangkabau dari generasi ka generasi, malalui kaampek jinih wadah budaya nantun.
Itulah tambo.Tambo ado 3 jinih nyo, ado tambo nagari, ado tambo alam, ado tambo adat. Tiok nagari di Minangkabau mampunyoi tambo.Tambo alam jo tambo adat bakulindan sacaro "masif" salamo ratusan tahun, barisi kisah/carito/riwayat tantang niniak muyang sakaligus pituah/padoman/aturan/undang-undang adat, pepatah/petitih, pituah/padoman hiduik, aturan/undang2 adat.

21.41 | 0 komentar | Read More

Tambo Bukan Sejarah

Kelahiran Tambo
Masyarakat Minangkabau ditakdirkan hidup di atas wilayah "ring of fire", pusat2 pergeseran lempeng kulit bumi yang membuahkan gempa2 dahsyat.
Ada masa ketika nenek-moyang orang Minang "berusaha" meninggalkan jejak sejarah, seperti ratusan menhir di Mahat, sampai beberapa situs batu-batu zaman megalitikum, juga candi-candi.
Tapi perjalanan waktu di tengah gempuran2 alam, terutama gempa, mengikis kebiasaan2 tersebut, karena bangunan apapun di atas wilayah ini akan rapun dilanyau gempa.

Allah, melalui ilham dan irhas-Nya memberikan petunjuk agar berguru kepada alam. Ilham dan irhas tersebut diberi rangka oleh orang Minang dengan "Alam Takambang Jadi Guru." Insya-Allah ini hak paten nenek moyang orang Minangkabau.
Sebuah petuah/pedoman, yang setelah masa Islam datang dikuatkan oleh wahyu tertulis, Al-Qur'an. Antara lain dalam surat Ali Imran ayat 190: ...."“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,......"
Berdasarkan petuah itulah orang Minang dahulu menghasilkan petuah2 lainnya yang diajarkan Allah melalui ayat qauniyah-Nya, alam.

Keinginan meninggalkan "jejak" yang kemudian menjadi sejarah, merupakan ilham dan irhas yang diberikan Allah kepada seluruh manusia. Orang Minang dahulu telah melihat tidak ada yang bertahan menghadapi gempuran dahsyat alam "Pulau Paco", pulau perca, pecahan2/potongan2. Tidak ada "jejak" yang akan bertahan.

Harus ada sesuatu yang "Indak Lakang dek Paneh, Indak Lapuak dek Hujan" untuk diwariskan kepada anak cucu. Apakah sesuatu yang dapat bertahan seperti itu?
Alam menunjukkan:  Nan Indak Lakang dek Paneh, Indak Lapuak dek Hujan itu hanyalah "kato".
"Kato", kata-kata lisan, bukan tulisan, di atas batu sekalipun.
Nenek moyang orang Minangkabau memilih cara "kato" untuk meninggalkan "jejak".
Kata2 lisan tersebut HARUS menyebar ke seluruh orang Minang. Menyebar dan terekam dalam pikiran, keseharian, angan-angan, bahkan mimpi-mimpi mereka.

Kata2 itu harus terpahat/terpatri di hati, maka harus indah, lahirlah petatah/petitih.
Petatah/petitih harus tersebar, diperlukan wadah untuk menyebarkannya.
Orang Minang menciptakan berbagai arena untuk menyebarkan kata-kata "jejak" tersebut.
Arena itu sebagian besar masih ada bahkan berkembang sampai sekarang.  
Tradisi lisan tu balansuang dalam babarapo kagiatan atau wadah budaya:
1. Tradisi kaba, bakaba, sarato sagalo variasinyo, sarupo sijobang, dendang, rabab, salawat
dulang, dll.
2. Tradisi pasambahan, panitahan, pidato adat, sarato sagalo variasinyo, nan taruih bajalan
sapanjang zaman pado satiok upacara adat.
3. Tradisi maota di lapau nan masih balansuang;
4. Tradisi surau nan muloi pupuih. (Tapi Allah Maha Kaya, Surau "dipindahkan-Nya kesini)

Tambo adalah "jejak" yang ditinggalkan oleh nenek moyang orang Minangkabau, dalam bentuk pepatah/petitih, prosa liris yang pernah mampir pada pendengaran dan ingatan sebagian besar orang Minang.

Jejak sejarah itu insya-Allah pernah mampir di 98% orang Minang, bukan hanya pada 2%.

Oleh Tuanku Mangkudun

21.36 | 0 komentar | Read More

Tambo Adat Minang Kabau


Cupak nan Duo, Tambo dan Sejarah
 

Mengapa harus mempelajari tambo ? Tambo berbeda dengan sejarah.
Sampai kini belum ada di dalam perbendaharaan kalimat bahasa kita "dendam tambo", akan tetapi sebaliknya, banyak diantara kita yang menderita "dendam sejarah" yang tidak bisa dihilangkan begitu saja pada diri orang pribadi maupun kelompok, meskipun ajaran agama mengajarkan untuk tidak mendendam !
Kalau manusia membutuhkan sejarah untuk diambil hikmah dari catatan yang bersifat kuantitatif dan objektif yang diperiksa dari peristiwa-peristiwa masa lalunya, maka tambopun bisa diambil hikmahnya dari pe rasa an orang/sekelompok orang terhadap budaya masa-lalunya, yang nilainya bersifat kualitatif dan subjektif
Hal inilah yang dipesankan oleh nenek moyang, agar manusia di dalam hidup di dunia memakai raso dengan pereso atau raso dibawa naik ke atas (dari hati ke otak kanan) dan pareso dibawa turun (dari otak kiri ke pancaindera.)
Oleh sebab itu jagalah pertumbuhan dan perkembangan otak balita dengan makanan bergizi untuk memahami hakikat yang terkandung di dalam tambo ini.

Tambo Adat Minang Kabau

Adapun waris yang diterima, berupa pesan orang tua-tua dahulunya:

 Nan sebaris berpantang hilang, setapak berpantang lupa.
Kalau hilang nan sebaris, kepada guru coba tanyakan.
Kalau lupa yang setapak, carilah tunggul bekas tebangannya.
Adapun waris yang diterima, petuah oleh guru agama: Mengaji dimulai dari alif.
Petuah dari mamak (paman): Membilang dimulai dari aso/satu (asal-mula bilangan).
Nan asal-mula, Allah.
Dua, bumi.
Tiga, hari
Nan satu empat, air sembahyang
Lima, pintu rejeki.
Enam, janin dalam kandungan ibunya.
Tujuh, pangkat manusia.
Delapan, pangkat surga.
Sembilan, pangkat Muhammad.
Kesepuluh Muhammad jadi, di situ berkata tuhan kita.
Kun, katanya Allah.
Fayakun, kata Muhammad.
Nabikun, kata Jibrail.
Yaa Ibrahi, kata bumi dan langit.
Kibrakun, kata Adam, jadi segala pekerjaan
Apa nan terjadi.
Sejak dari Luah dengan Qalam sampai ke Arasy dengan Kurisyi, semua surga dengan neraka, hingga bulan dengan matahari, langit serta bumi dengan semua isinya terkadung di dalam wahdaniah tuhan.
Adalah lima perkara
Mana yang lima perkara itu.
Tanah baki, tanah baku, tanah hitam, tanah merah dengan tanah putih. (catatan: Manusia berasal dari tanah)
Tanah digengam oleh Jibrail,
dibawa terbang ke hadirat Tuhan, terhantar di atas meja,
di situ biji menjadi batang, di sana kapas menjadi benang,
di situ langit beranjak naik, di sana bumi menghantam turun, 
di situ si kecil maka diberi nama, di sana yang besar diberi gelar,
di situ Adam bertempat, iya sebagai penunggu isi dunia.
Karena lama-sangat lama, karena asal-berasal pula,
karena bukit-tumbukan kabut, karena laut-empangnya muara.
Habis tahun berganti tahun, maka melahirkanlah si ibu manusia, Siti Hawa, sebanyak empat puluh kurang satu atau 39 orang.
Maka dikawinkanlah se orang kepada yang se orang
Yang bungsu tidak berjodoh, maka bernazarlah nabi Adam ketika itu.
"Ya Allah, ya rabbil alamin, perkenankanlah aku dengan anak cucu aku kesemuanya."
Kehendak sedang dipenuhi, permintaan sedang dikabulkan, maksud sedang diterima Tuhan.
Berfirmanlah Tuhan kepada Jibrail.
Hai malaikat Jibrail, pergilah engkau ke surga nan delapan. Kabarkan kepada anak bidadari yang bernama Puti Dewanghari, anak dari Puti Andarasan bahwa dia akan diambil oleh Sutan Rajo Alam di atas dunia.
Maka terbanglah Jibrail ke surga nan delapan mengabarkan kepada Puti Dewanghari, bahwa dia akan dipasangkan dengan Sutan Rajo Alam di atas dunia.
Maka memandanglah Puti Dewanghari ke atas dunia, tampaklah anak Adam di atas alam Sigumawang, antara huwa dengan hiya dikandung Abun dengan Makbun.
Wallahualam.
Besar hati, maka dikumpulkannya alat-peragat kesemuanya, iyalah payung-panji kuning, payung berjepit timbal-balik, lengkap serta umbul-umbul merawal kuning, seperti alas kaki-selop bertahtakan intan berlian buatan orang di surga, maka bertemulah mereka di puncak bukit Qaf, lalu dinikahkan oleh tuan kadi Rambun Azali di pangkal titian Tujuh, di bawah nisan nan keramat.
Maka dibakarlah kemenyan putih, asap menjulang ke udara, terkejut sekalian malaikat, tercengang semua bidadari, menyembar kilat di langit, bergegar petir atas bumi, terang benderang terus ke langit yang ke tujuh, terhentak ke hadirat tuhan sebagai saksi pernikahan.
Lama, sudah lama sekali, habis hari berganti bulan, habis bulan berganti tahun, salah seorang anak cucu beliau yang bergelar Sutan Sikandarareni (Iskandar Zulkarnain) menjadi raja berkuasa seluruh dunia dan mempunyai keturunan.
Yang pertama, Sutan Maharaja Alif, kedua Sutan Maharaja Depang, dan yang ketiga Sutan Maharajo Dirajo.
Sutan Maharaja Alif memerintah di Banuruhum (benua Rum).
Sutan Maharaja Depang memerintah di negeri Cina, sedangkan Sutan Maharajo Dirajo pergi ke pulau Perca, memerintah di Pariangan Padang Panjang, di kaki gunung Merapi di negeri yang belum bernama Minang Kabau.

Perjalanan Sutan Maharajo Dirajo

Adapun Sutan Sikandareni, rajo alam nan arif bijaksana, melihat anak sudah beranjak dewasa, yang sudah masak berlatih silat dengan pengajaran, timbul niat dalam hati hendak menyuruh anak pergi merantau mancari ilmu serta pengalaman.

 Terpikirlah pada masa itu dengan apa anak akan dilepas berlayar ke lautan luas.
Terbayanglah sebatang kayu besar yang tumbuh di hulu batang Masia (Egypt) bernama kayuSajatalobi, daunnya rimbun, rantingnya banyak, batang panjang lurus pula.
Muncul pikiran hendak menebangnya guna dibuat pencalang tiga buah untuk melepas anak pergi merantau.
Maka dikumpulkan semua cerdik pandai di tanah Arab
Dibawa kapak dan beliung untuk menebang kayu tersebut, sudah banyak orang menebang, sudah tujuh puluh tujuh beliuang sumbing, sudah tiga puluh tiga kapak yang patah, namun batang kayu besar itu tidak juga kunjung rebah, apakah gerangan penyebabnya.
Karena rukun syarat belum terpenuhi, maka datanglah orang cerdik pandai memberi petunjuk-pengajaran, lalu dikumpulkanlah orang banyak.
Disembelih kibasy dan unta, dibakar kemenyan putih, asap menjulang ke udara, orang mendoa kesemuanya, memintaklah Sutan Sikanderani "Ya Allah, ya rabbil alamin, perkenankanlah aku menebang kayu Sajatalobi untuk mengarungi lautan luas."
Keinginan sedang dikabulkan, permintaan ada diterima, berguncanglah hulu batang Masie, gempa nagari tujuh hari tujuh malam, sehingga banyak kayu yang rebah termasuk batang Sajatalobi.
Oleh orang yang berilmu diambil daun dan batangnya.
Daun diramu menjadi tinta, kulit disamak menjadi kertas guna menuliskan kalam Ilahi dipakai mengaji umat nan banyak.
Kulit batangnya dibuat menjadi kain untuk beribadat kepada Allah.
Kalau berdenyut empu jari kaki, menyentak ke ubun-ubun, mata hijau, nafas berlalu, dunia berpindah ke akhirat, sakit kita dalam kubur sengketa sampai ke padang mahsyar, hangat cahaya tiang arasy, lapuk berserak di neraka.
Tapi kalau kita ada sembahyang, Kur'an dan hadis menjadi pedoman, suruh dikerjakan, tegah dihentikan, sepanjang kabar dari guru-guru kita, maka elok masuk punca ke hulunya, bilangan dunia kalau dipahami, janji akhirat kalaulah tiba, pesan nagari kalau lah datang, janji dahulu ditepati, dunia berpindah ke akhirat, senanglah diri di dalam kubur, lepas ke tengah padang mahsyar, teduh cahaya tiang arasy, pulanglah kita ke surga, melihat junjungan bersanding dengan khadijah dalam surga jannatun naim.
Rebahlah kayu Sajatalobi, batangnya dikerat menjadi tiga untuk pembuat pencalang tiga pula.
Satu pencalang Sutan Maharaja Alif, satu pencalang Maharajo Depang dan satu lagi pencalang untuk Sutan Maharajo Dirajo.
Hari petang, malampun datang, dipanggil anak kesemuanya, diberi petunjuk-pengajaran sebagai ganti bekal merantau.
Jatuh kepada Sutan Maharaja Alif menerima mahkota emas, Sutan Maharaja Depang menerima bekal berbentuk perkakas tukang, Sutan Maharajo Dirajo menerima kitab berisi undang.
Ayam berkokok subuhpun tiba, hari pagi matahari terbit, berangkatlah anak ketiganya.
Adapun Sutan Maharaja Alif tambonya ditutup, belum akan dibuka saat ini.
Tentang Sutan Maharaja Depang kisah habis sampai di sini saja !
Sutan Maharaja Dirajo terus berlayar ke pulau Perca, berkawan dengan Syeh Soleh yang bergelar Cateri Bilang Pandai, orang cerdik bijak arif cendekia, anak orang hulu sungai Masia.
Diperjalanan bertambah kawan yang seorang bergelar Harimau Campa, yang seorang lagi bergelar Kambing Hutan, yang ketiga bergelar Kucing Siam, yang seorang lagi parewa (preman) nan bergelar Anjing Mualim.

Adapun Cateri Bilang Pandai - orang pandai menarah-menelakang, mahir menjarum-manjarumek, bisa mematri dengan air liur, pandai bersisir di dalam air - mampu memanah dalam kelam, kelam-temaram gila buta, bersilang saja anak panahnya, langsung kena di sasarannya - pandai membuat sambang loji nan berpasak dari dalam - belum diraih sudah terbuka - langsung tiba di tujuannya.

Begitu pula si Harimau Campa, orang berani dari India, badan berbulu sekujur tubuh - orang takut untuk melawan, bila memukul laksana guruh, cepat kaki bak petir - bila kena gunung, gunungpun runtuh - kena batu, batupun pecah - pandai menyambut dengan menangkap, pintar mengipas dan melepas - pandai bersilat serta berkiat, kalau melompat laksana kilat.

Kalau disebut Kambing Hutan, karena betanduk di kepala - kencang berlari di dalam rimba, tahu di padang nan berliku, tahu di tanjung yang berbelit, mengerti di lurah nan berbatu, paham di akar yang akan melilit - berbenak di empu kaki, beraja di hati, bersutan di mata, keras hati allahurabbi - kalau masalah berhitung letak di belakang.

Dikaji pula Kucing Siampandai menyuruk di ilalang sehelai - mengambil tidak kehilangan - sikap seperti Singa lelap, pandai menipu dengan menelikung, kalau melangkah tidak berdesir, melompat tidak berbunyi - konon lidahnya tidak berengsel, mulut manis bak tengguli - kalau menggaruk tidak berbekas, sudah pedih saja baru ketahuan.

Begitu pula si Anjing Mualim parewa, preman yang datang dari Himalaya, mata merah bak saga, gigi tajam berbisa pula, nafas tahan, larinya kencang. Pandai mengintai di tempat terang, pandai bernafas di dalam bencah. Sebelum berhasil pantang menyerah, pandai menikam jejak tinggal, jejak ditikam mati juga - berhidung tajam bak sembilu - biar kampung sudah berpagar, dia sudah sampai di dalam.



Fakta dan interpretasi:

  • Mahkota emas Sijatajati yang berbentuk tanduk diabadikan masyarakat menjadi tengkuluk (tutup kepala) oleh kaum perempuan Minang.
    Sutan Sikandar Reni dalam al Qur'an disebut Iskandar Zulkarnain yang artinya raja yang mempunyai dua tanduk atau Alexander the Great, king of Macedonia.
  • Berbeda dengan dengan Sutan Maharajo Alif (Barat) yang mengutamakan kekuasaan (mahkota) dan Sutan Maharaja Depang (Timur) yang mendahulukan keterampilan, maka menurut tambo Sutan Maharaja Dirajo (Minang Kabau) dituntut untuk mempelajari buku dan etika.
    Selanjutnya tambo mengisahkan
    Negeri yang belum bernama Minang Kabau ini bertahan ratusan tahun sepanjang umurnya Sutan atau Datuak Maharajo Dirajo yang diyakini sebagai manusia setengah dewa yang dianugrahi umur ratusan tahun.
    Setelah beliau mangkat pemerintahan dilanjutkan oleh Datuak Suri Dirajo, penghulu kepercayaannya.
    Salah seorang janda Datuak Maharajo Dirajo yang bergelar Puti Indo Julito, dikawini oleh Cati Bilang Pandai, orang kepercayaan almarhum yang kemudian memboyong keluarga beserta anak-anaknya Jatang Sutan Balun, Puti Jamilan, Sutan Sakalap Dunia, Puti Reno Sudah dan Mambang Sutan ke Dusun Tuo Limo Kaum.
    Selanjutnya setelah mereka dewasa Datuak Suri Dirajo bermufakat bersama Cati Bilang Pandai untuk mengangkat:
    Sutan Paduko Basa dengan gelar Datuak Katumangguangan dan
    Jatang Sutan Balun dengan gelar Datuak Perpatiah Nan Sabatang serta
    Sutan Sakalap Dunia dengan gelar Datuak Surimarajo nan Banego-nego sebagai penghulu-penghulu yang akan membantu beliau.
    Keputusan ini dimufakati di atas Batu Nan Tigo dengan meminumkan air keris Si Ganjo Erahdengan sumpah setia:
    Bakato bana, babuek baiak, mahukum adia, bilo dilangga, ka ateh indak bapucuak, ka bawah indak baurek, di-tangah-tangah digiriak kumbang atau 
    Berkata benar, berbuat baik, menghukum adil. Bila dilanggar (ibarat sebatang pohon), ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berakar, di tengah-tengah digirik kumbang pula.
    Ibunda Puti Indo Julito menyerahkan pusaka keris Siganjo Erah dan Siganjo Aia serta Tungkek Janawi Haluih kepada Datuak Ketumangguangan.
    Untuk Datuak Parpatiah Nan Sabatang menerima keris Balangkuak Cerek Simundam Manti dan Simundam Panuah serta Payuang Kuniang Kabasaran (pertama Ranah Minang menerapkan warisan dari ibu)
    Selanjutnya Istano Dusun Tuo menjadi pusat pemerintahan melanjutkan kepemimpinan Datuak Suri Dirajo yang meghabiskan masa tua di Istano Koto Batu.

    Mengambil tempat di atas Batu Panta mulai disusun peraturan-peraturan pemerintahan yang selanjutnya dihasilkan 22 aturan yang terdiri dari 4 perangkat Undang-undang Adat.
    4 Undang-undang Nagari.
    4 Undang-undang Koto.
    4 Undang-undang Luhak dan Nagari.
    4 Undang-undang Hukum.
    2 Undang-undang Cupak yang kesemuanya disahkan dengan persumpahan yang masing-masing meminum air keris Siganjo Erah di atas Batu Kasua Bunta di Dusun Tuo Limo Kaum.
    Setelah Undang-undang nan 22 tersebut disahkan, di Dusun Tuo dibentuk 4 Suku dengan Pangulu masing-masing yaitu:
  • Suku Caniago dipimpin Datuak Sabatang.
  • Suku Tujuah Rumah Dt. Rajo Saie.
  • Suku Korong Gadang Dt. Intan Sampono dan
  • Suku Sumagek oleh Dt. Rajo Bandaro.Pada saat itu juga dilantik 2 orang Dubalang iaitu Sutan Congkong Tenggi dan Sutan Balai Sijanguah kesemuanya dilantik dibawah pasumpahan Datuak Parpatiah Nan Sabatang sedangkan Datuak Katumangguangan meminumkan Air Keris Siganjo Aia.
    Tidak berapa lama kemudian disusul pula pembentukan 8 Suku lengkap dengan pangulunya di daerah Pariangan yaitu:
    Suku Piliang dipimpin oleh Datuak Sinaro Nan Bagabang.
    Koto Dt. Basa.
    Malayu Dt. Basa.
    Pisang Dt. Kayo
    Sikumbang Dt. Maruhun.
    Piliang Laweh Dt. Marajo Depang.
    Dalimo Dt. Suri Dirajo dan Limo Panjang Dt. Tunaro.
    Kemudian disusul 5 Suku di Padang Panjang yaitu:
    Suku Kuantan dipimpin oleh Datuak Amat Dirajo.
    Piliang Dt. Maharajo Basa.
    Dalimo Dt. Jo Basa.
    Piliang Laweh Dt. Indo Sajati.
    Dalimo Panjang Dt. Maharajo Suri.
    Kemudian disusul 6 Suku di daerah Guguak yaitu:
    Suku Piliang dipimpin oleh Datuak Rajo Mangkuto.
    Malayu Dt. Tunbijo.
    Koto Dt. Gadang.
    Dalimo Dt. Simarajo.
    Pisang Dt. Cumano.
    Piliang Laweh Dt. Rajo Malano.
    Selanjutnya 3 Suku di daerah Sikaladi yaitu:
    Suku Sikumbang dipimpin oleh Datuak Tumbijo.
    Dalimo Dt. Barbangso 
    Suku Koto Dt. Marajo.
    Ke 22 orang Pangulu Suku ini dilantik oleh oleh Datuak Katumangguangan sedang pasumpahan dengan meminumkan Air Keris Sampono Ganjo Aia oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang.
    Setelah peresmian Suku yang 22 ini, Datuak Berdua menugaskan Suku Korong Gadang untuk memelihara Batu Panta.
    Sedangkan Batu Kasua Bunta tangguang jawab Suku Tujuah Rumah dan Batu Pacaturan oleh Suku Sumagek (ketiga batu bersejarah ini sampai sekarang masih terawat dan dapat dilihat di Dusun Tuo Limo Kaum Batu Sangkar).

    Walaupun pembentukan Luhak Nan Tigo sudah digariskan sejak kepemimpinan Datuak Maharajo Dirajo dipuncak Merapi namun ketegasan batas-batas belum ada, maka kedua Datuak membuat ketegasan yang ditandai dengan mengeping sebuah batu menjadi 3 bagian yang tidak putus dipangkalnya.
    Hal ini bermakna Luhak nan Tigo berbagi, tidak bercerai namun belum diikuti dengan pembagian Suku (batu ini dapat dilihat di Dusun Tuo Limo Kaum).

    Sebelum diadakan pembagian Suku untuk Luhak nan Tigo, Datuak Katumangguangan memancang tanah dan membuat sebuah nagari yang kemudian diberi nama Sungai Tarab dan menempatkan adiknya Puti Reno Sudah, bersama 8 Keluarga sekaligus membentuk 8 Suku, lengkap dengan Pangulu yaitu Suku Piliang Sani dibawah Datuak Rajo Pangkuto, Piliang Laweh Dt. Majo Indo, Bendang Dt. Rajo Pangulu, Mandailiang Dt. Tamani, Bodi Dt. Sinaro, Bendang Dt. Simarajo, Piliang Dt. Rajo Malano dan Suku Nan Anam di bawah Datuak Rajo Pangulu yang kesemuanya dilantik di Kampuang Bendang.

    Selanjutnya beliau menunjuk kemenakannya, anak Puti Reno Sudah, yang bergelar Datuak Bandaro Putiah sebagai Pangulu Pucuak.
    Pelantikan dilakukan oleh beliau sendiri di atas Batu 7 Tapak dengan pasumpahan meminum Air Keris Siganjo Aia (Batu 7 Tapak ini bisa dilihat di rumah salah seorang penduduk di Sungai Tarab).

    Selanjutnya Datuak Ketumangguangan memerintahkan Datuak Bandaro Putiah bersama 8 Pangulu Sungai Tarab lainnya agar di sekeliling nagari Sungai Tarab dibangun 22 Koto sebagai benteng dan kubu pertahanan.
    Diantaranya 8 Koto Kapak Radai (Pati, Situmbuak, Selo, Sumaniak, Gunuang Medan, Talang tangah Guguak dan Padang Laweh).
    2 Ikua Koto (Sijangek dan Koto Panjang).
    2 Koto di kapalo (Koto Tuo dan Pasia Laweh).
    1 Koto di puncak (Gombak Koto Baru).
    1 Koto sebagai Katitiran di ujuang Tunjuak (Ampalu).

    Kemudian bersama Datuak Parpatiah Nan Sabatang menjalani Luhak Agam dengan membangun Biaro dengan pangulu Pucuak Datuak Bandaro Panjang.
    Baso di bawah Datuak Bandaro Kuniang yang dilantik dan disumpah setia dengan meminumkan Air Keris Siganjo Erah di dusun Tabek Panjang.
    Selanjutnya kedua Pangulu ini ditugaskan membangun nagari-nagari di Luhak Agam.

    Sedangkan di Luhak 50 Koto datuak berdua membangun nagari Situjuah, Batu Hampa, Koto Nan Gadang dan Koto Nan Ampek dan melantik Datuak Rajo Nun dan Datuak Sadi Awal yang selanjutnya ditugaskan membangun nagari di Luhak tersebut.

    Setelah Luhak nan Tigo dibari bapangulu, Datuak Perpatiah Nan Sabatang tidak mau ketinggalan dengan Datuak Katumangguangan.
    Beliau meluaskan daerah ke arah timur Dusun Tuo dengan membentuk suku dengan pangulunya antara lain di Korong Balai Batu dibentuk Suku Sungai Napa di bawah Datuak Basa, Jambak Dt. Putiah.

    Dibawah kepiawaian kedua Datuak Ketumangguangan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang sistem pemerintahan adat menjadi semakin kemilau, hingga beberapa dekade kemudian kedatanganAdityawarman, seorang Pangeran Mojopahit yang ingin merobah secara total sistem pemerintahan adat di negeri ini mendapat tantangan keras dari para Datuak Basa Ampek Balai.

    Kehadiran negarawan Mojopahit ini bukan tidak ada segi positifnya, bahkan beberapa pimpinan pemerintahan adat Kelarasan Koto Piliang dan Bodi Caniago berkesempatan bersama Adityawarman hadir di istana Mojopahit melakukan kunjungan muhibah ke istana kaisar didaratan Cina.

    Kalaupun corak pemerintahan ala Mojopahit pernah ingin dipaksakan di ranah Minang namun tidak bertahan lama.

    Setelah Adityawarman tewas dalam suatu insiden, sistem pemerintahan adat diterapkan kembali sebagaimana dikatakan "Luhak dibari Bapangulu" dan sistem ini adopsi oleh Kelarasan Koto Piliang, terutama untuk daerah-daerah di luar Luhak nan Tigo sebagai Rantau Minang Kabau, seperti yang disebutkan "Rantau Dibari Barajo".


    Minang Kabau menurut Barih Balabeh Tambo Adat Minang Kabau
    Dahulu Minang Kabau tidak memiliki hukum positif, yang ada hanya hukum rimba "Siapa Kuat Siapa malanda, siapa tinggi siapa manimpa" kemudian oleh dua orang bijak yaitu Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah nan Sabatang membuat sebuah perangkat Hukum Adat/Suku agar diperoleh Perdamaian dalam nagari dimana "nan lemah dilindungi dan keadilan bagi semua anak nagari.

    Agar mudah mengawasinya dibuatlah ukuran untuk baik atau buruk suatu tindakan dan perbuatan "Di ukua jo jangko, dibari balabeh, dicupak jo gantang, dibungka jo naraco, disuri jo banang".


    Sumber : http://nagari.or.id/?moda=tambo
  • 21.29 | 0 komentar | Read More